Sudah tersiar cerita yang menarik di desa Temon Tegarejo, wilayah Ponjong. Mangunkaeran, sampai sekarang masih menyimpan pusaka barang kuno. Adapun wujudnya, satu Layang Jugulmudha dan yang kedua pusaka kotang gondhil, warisan leluhur. Barang itu peninggalan almarhum seorang satria keturunan Wilatikta yang bersemayam di Temon, dengan gelar Kyai Gusti Sang Sumberwilis yang bersemayam di Sitiseta. Adapun wujudnya, yang disebut Si Jugulmudha, kertasnya tebal sudah menyerupai pelepah pinang, tulisannya tidak jelas. Kata orang yang agak mengerti, menggunakan cara Arab tanpa tanda baca. Ada lagi yang mengatakan, tulisannya seperti tulisan Buddha kuno. Wujud kotang gondhil, menurut pandangan orang berbeda-beda. Ada yang bilang coraknya bergaris-garis, ada pula yang melihatnya seperti menggunakan hiasan kecil-kecil yang mengkilap namun sudah tua. Kedua barang itu sangat dipuja, sudah disimpan di atas rumah, diwadahi di dalam besek. Adapun keanehan orang yang memiliki pusaka gondhil, rumahnya bercorak kuno sudah dua ratus tahun, bahkan lebih. Sejak Kyai Gusti melarikan diri dari Majapahit saat itu, sampai sekarang belum diperbaiki. Berulang kali hanya mengganti atapnya dengan alang-alang. Adapun rumah itu, akarnya menjalar sebagai tali, sampai sekarang masih kuat, ikatannya kokoh, tingginya hanya setinggi jangkauan tangan, semua kerangka sudah terlihat hitam karena sudah sangat tua. Semua orang di sana sangat menghormati, tidak berani meremehkannya, takut akan akibat buruk dari pusaka itu. Besek jika diangkat dan besarnya bisa melingkari kitab Jugulmudha, di sana kemudian tumbuh banyak perkara di desa, yang akhirnya kejadiannya tidak baik, menimbulkan kesusahan.

Barang siapa yang memiliki layang dan gondhil, jika bukan warisnya tidak akan kuat. Meskipun warisnya orang terpilih, seperti Sanawangsa yang sudah tua, lampu berpindah ke gunung Krambil karena tidak kuat memilikinya. Dahulu pernah terjadi, pusaka itu dibawa oleh warisnya ke desa Kajar, di sana sangat dipuja-puja. Orang yang memilikinya kemudian salah tingkah, selalu membanggakan kesombongannya, akhirnya malah celaka. Maka kemudian disimpan dengan baik oleh Mangunkaeran di atas kepundhung (mungkin maksudnya tempat yang tinggi), yaitu rumah rayap, dan besarnya kira-kira satu depa persegi, tingginya seukuran sapi berdiri. Di senthong (kamar belakang) yang pojok, memenuhi atasnya adalah tempat penyimpanan Jugul dan kotang gondhil, disimpan rapat dengan usuk. Adapun Mangunkaeran itu aneh, kok belum tahu wujud Jugulmudha dan kotang, keduanya dibungkus kain mori putih, tidak berani membukanya.
Khasiat kotang gondhil itu dan layang Jugulmudha bisa dimohon manfaatnya, selamat dan sejahtera, dan membantu perbuatan baik. Tetapi jika timbul sifat sombong, angkuh, dan congkak, Jugulmudha dan gondhil tidak akan memberkahi malah menjadi bencana. Masih satu desa, ceritanya berpindah di dalam kelurahan Bala, juga Tegarejo, yang terkenal dengan nama pasarean (makam) almarhum yang terkenal dengan Kyai Krapyak. Adapun nama aslinya adalah Kyai Singasari yang terkenal, seorang satria keturunan raja Majapahit, yang melakukan tapa brata (mati raga). Karomahnya sudah tersiar jauh, banyak pemuda yang berguru meminta kekuatan kulitnya, serta kekerasan tulangnya, yang tidak mempan oleh kikiran, dan sisa-sisa gerinda, agar teguh dan berwibawa karena khasiat Kyai Krapyak. Ada juga yang terkabul dalam bertapa, kemudian menjadi kebal.
Di dekat makam itu, ada kedung (lubuk sungai) yang bernama Kedung Sruwa, dahulu digunakan untuk pemandian. Banyak pemuda yang beramai-ramai datang ke kedung itu bergantian, lalu menyelam ke dasar. Yang pertama muncul langsung ditusuk tombak yang dibuat dari bambu yang diruncingkan, namun tidak terasa sakit. Jika ditusuk baru terasa sakit, itu tanda bahwa belum diterima (ilmunya). Bahkan anak gembala saja dianggap lebih unggul. Ada lagi cerita lain di dekat makam Kyai Krapyak itu, yaitu makam Tumenggung Mayang di desa.
Tulisan ini kami sadur dari tulisan bahasa jawa ini

Leave a Comment